Serakah adalah satu
sifat buruk yang tak layak dimiliki oleh orang-orang beriman.
Dengannya, seseorang akan berperilaku bengis, dzolim terhadap orang lain, lagi lebih mementingkan kepuasan diri sendiri, keluarga, ataupun para sekutu-sekutunya, ketimbang mempedulikan kemaslahatan umum.
Dengannya, seseorang akan berperilaku bengis, dzolim terhadap orang lain, lagi lebih mementingkan kepuasan diri sendiri, keluarga, ataupun para sekutu-sekutunya, ketimbang mempedulikan kemaslahatan umum.
Untuk memenuhi
keserakahan mereka, tidak sedikit orang harus menempuh jalur ‘kiri’, dalam
arti, yang penting tujuan tercapai, tak peduli dengan cara apapun jua,
haram-halal dilabrak. Tidak bisa dengan cara damai, jalur paksa pun ditempuh.
Buntu dengan negosiasi, cara tak manusiawi, pun terkadang dilakukan. Ketika fenomena ini menjalar
di tengah-tengah masyarakat, dan menjadi budaya praktek kehidupan mereka, maka
bisa dipastikan tatanan hidup sosial tidak akan pernah berjalan harmonis. Yang
kaya memeras yang miskin, yang kuat menindas yang lemah, yang pintar mengibuli
yang bodoh, begitu seterusnya, dan begitu seterusnya.
Tidak hanya itu saja efek
negatif yang bisa ditimbulkan oleh orang yang memiliki sifat serakah. Yang
paling berbahaya, dia pun akan menantang/durhaka terhadap Allah SWT. Sebagai
‘cermin’, kita bisa beraca pada keserakahan yang dimiliki Fir’aun terhadap
kekuasaan, kedudukan, dan kemegahan, yang telah menyebabkannya buta hati,
sehingga tega mengdzolimi masyarakat jelata. Dan yang paling fenomenal, dia
menetapkan satu keputusan yang sangat sepihak demi mempertahankan kedudukannya
yang nyaman, yaitu; dengan membunuh setiap anak-anak laki-laki dari Bani
Isroil, karena khawatir kalau di kemudian hari, mereka akan merebut kekuasaan
yang berada di kendalinya.
Allah berfirman:
“Dan (ingatlah) ketika kami menyelamatkan kamu dari Fir’aun dan
pengikut-pengikutnya. Mereka menimpakan siksaan yang sangat berat kepadamu.
Mereka menyembelih anak-anak laki-lakimu dan membiarkan hidup anak-anak
perempuanmu. Dan pada yang demikian itu merupakan cobaan besar dari Tuhanmu”.
(Q:S. 2:49).
Serakah
yang berkah
Seseorang memiliki
keserakahan/kerakusan dalam mengerjakan kebajikan, salah satunya adalah
menuntut ilmu. Dalam salah satu sabdanya, Rosulullah pernah menjelaskan, bahwa
seseorang tidak akan pernah berhasil menuntut ilmu, kecuali dia memenuhi enam
syarat, dan salah satunya adalah dia harus memiliki jiwa khirshun, yang bila
kita terjemahkan dalam bahasa Indonesia memiliki arti –salah satunya-
rakus/serakah.
Ketika sifat ini benar-benar
dimiliki oleh para penuntut ilmu, maka dia akan ‘gila-gilaan’ dalam ‘melahap’
seluruh sajian ilmu yang dihadapkan padanya. Dia tidak akan pernah puas. Ketika
telah menguasai satu bidang ilmu, maka dia akan berusaha untuk mempelajari satu
bidang yang lain, dan begitu seterusnya. Bagi mereka ilmu adalah
segala-galanya. Motto, “Tuntutlah ilmu dari buaian hingga liang lahat”,
benar-benar terpatri dalam lubuk hati mereka yang paling dalam, sehingga tidak
mudah terkecoh dengan godaan-godaan di sekitarnya, efeknya, tidak ada waktu
terbuang, kecuali digunakan untuk belajar, belajar, dan belajar.
Buah dari itu semua, orang
tersebut akan menjadi orang yang ‘alim lagi faqih dalam segala hal, terutama
masalah ilmu agama. Dengan demikian, dia akan berhati-hati dalam bertindak,
sebab setiap langkah yang dia lakukan selalu berbarometerkan ilmu. Ingat, salah
satu sifat ilmu adalah menjaga si-empunya (dari keburukkan), sebagaimana yang
diutarakan oleh Syaidina ‘Ali Karamullahu Wajhah, bahwa salah satu di antara
yang membedakan ilmu dengan harta adalah jika ilmu itu menjaga pemiliknya,
sedangkan harta itu harus dijaga .
Ketika ilmu itu
menjelaskan sesuatu yang haram –misalnya-, maka ia akan menjauhi perkara
tersebut, sekalipun sangat menggiurkan hasratnya. Begitu pun sebaliknya, ketika
ilmu mengatakan bahwal hal tersebut halal, dia pun akan mengikuti titahnya,
sekalipun kebanyakan orang mencemoohnya.
Walhasil, orang tersebut
akan merengguh kemulyaan dengan sendirinya, karena seluruh lini kehidupannya
bersandarkan pada ilmu. Rosulullah pernah bersabda, “Barang siapa yang
menghendaki kebahagiaan di dunia, maka hendaknyalah dia meraihnya dengan ilmu.
Dan barang siapa yang menginginkan kebahagian di akhirat, maka gapailah ia
dengan ilmu, dan barang siapa menghendaki kedua-duanya, maka rengguhlah pula ia
dengan ilmu.” (Al-Hadits).
Pada tatanan inilah serakah
akan berbuah keberkahan. Karena itu, mari kita memposisikan serakah pada posisi
yang mampu mengundang keberkahan bagi diri kita masing-masing, bukan
sebaliknya, justru mendatangkan malapetaka kehancuran hidup, di dunia dan di akhirat.
Berkah (barakah) sendiri –menurut pendapat para ulama- adalah ‘ziadatul khoir’
(tambahnya kebaikkan). Semoga kita termasuk di dalamnya. Wallahu ‘alam
bis-shawab
(Sumber referensi: Yusuf Mansur
Network)
0 komentar :
Posting Komentar